


BANDUNG-Menindaklanjuti arahan Kepala Kantor Wilayah Kemenkum Jabar Asep Sutandar, jajaran Analis Hukumkemenkum Jabar saksikan Focus Group Discussion (FGD) Tim Kerja Analisis dan Evaluasi Hukum terkait Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak pada Selasa, 21 Oktober 2025. Kegiatan ini menghadirkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk tim kerja dari Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Ibu Amira Paripurna, serta praktisi dari Kejaksaan Negeri Surabaya, Bapak Damang Anubowo. Acara ini juga diikuti oleh para Analis Hukum dari seluruh kantor wilayah secara daring dan luring.
FGD ini digelar di Kanwil Kemenkum Jatim dan dibuka langsung oleh Kepala Kanwil Kemenkum Jatim Haris Sukamto. FGD ini juga sebagai respons atas tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia. Data survei menunjukkan satu dari lima perempuan pernah mengalami kekerasan. Menanggapi hal ini, Kepala Kantor Wilayah Kemenkum Jabar, Asep Sutandar, menyatakan dukungan penuh terhadap inisiatif BPHN. Asep Sutandar menegaskan kepada jajarannya untuk berkomitmen turut serta dalam mengidentifikasi dan memberikan solusi terhadap hambatan hukum, baik dari aspek normatif maupun implementasi, guna memastikan perlindungan hukum yang efektif bagi kelompok rentan, sejalan dengan tujuan pembangunan sumber daya manusia menuju Indonesia Emas.
Dalam paparan tim kerja BPHN yang disampaikan oleh Ibu Puji, terungkap beberapa temuan awal dari analisis terhadap 17 peraturan perundang-undangan terkait. Masalah utama yang diidentifikasi mencakup stigma yang masih melekat pada korban, kurangnya edukasi publik, dan sistem data perlindungan (SIMFONI PPA) yang dinilai belum komprehensif. Tim kerja BPHN mendorong adanya perubahan paradigma dalam penegakan hukum, dari yang semula berorientasi pada pelaku (offender-oriented) menjadi berorientasi pada pemulihan korban (victim-centered) dengan perspektif keadilan gender.
Akademisi Universitas Airlangga, Amira Paripurna, menyoroti paradoks dalam tingginya angka pelaporan. Di satu sisi, ini menunjukkan keberhasilan kampanye dan keberanian korban untuk melapor. Namun di sisi lain, ini menjadi bahan koreksi mengapa kekerasan masih terus terjadi meski kerangka hukum di Indonesia dinilai sudah sangat berpihak pada korban (victim-centered approach). Amira menekankan pentingnya membedakan antara masalah pada tataran norma (undang-undang) dan masalah pada tataran implementasi di lapangan.
Diskusi yang dipandu oleh Sekretaris Tim Kerja BPHN, Gunarti Lumban Gaol, ini diharapkan dapat menghimpun masukan konstruktif dari berbagai perspektif. Seluruh temuan dan rekomendasi dari FGD ini akan digunakan oleh BPHN untuk menyempurnakan hasil analisis dan evaluasi, yang pada akhirnya akan diajukan sebagai rekomendasi kebijakan untuk penyempurnaan hukum nasional terkait perlindungan perempuan dan anak.
